Thursday, January 23, 2014

Enam Prinsip Kesehatan

The Six Principles of Optimal Health: #2-Avoid Toxins

 sumber (copas):
 
“There is a growing consensus in the scientific community that small doses of pesticides and other chemicals can have adverse effects on health, especially during vulnerable periods such as fetal development and childhood.” 
Andrew Weil
In the first principle of achieving optimal health, I focused primarily on the importance of eating more nutritious foods. After you start to improve the nutrient content of your diet, you then have to start focusing on avoiding as many dietary and environmental toxins as you can. While chronic exposure to individual toxins may not be very destructive to your health, collectively, these toxins can cause chronic stress and/or mess with the proper function of the endocrine system. So even if your diet is 100% on point, chronic exposure to the multitude of environmental toxins typically found in industrialized countries (especially the US) can relentlessly chip away at your health.

[+/-] Mau Baca Selengkapnya...

Sunday, August 30, 2009

BETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWA PENGHASIL SUSU - Sinar Tani - Membangun Kemandirian Agribisnis

Pengembangan ternak kambing PE sebagai penghasil susu untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktifitasnya akan dapat membantu mengatasi masalah penyediaan susu dalam negeri, memenuhi kebutuhan nasional melalui program pemerintah.

Produksi susu segar dalam negeri baru memenuhi 25% dari kebutuhan nasional yang sentra produksinya masih terkonsentrasi di Pulau Jawa (70%) dari produksi dalam negeri. Produksi susu tersebut boleh dikatakan keseluruhan atau sebagian besar adalah dari ternak sapi perah, padahal susu bukan hanya dapat dihasilkan dari ternak sapi perah, tetapi juga dapat dihasilkan dari kambing perah yang pupulasinya di Indonesia cukup banyak yang masih dapat dikembangkan untuk meningkatkan populasi, produksi dan produktifitasnya melalui program pemerintah dengan meningkatkan peran para pemangku kepentingan khususnya penyuluh pertanian.

Kambing perah di Indonesia yaitu kambing Peranakan Etawa (PE), merupakan keturunan kambing Etawa dari India, dibawa oleh Belanda pada jaman penjajahan, dikawinkan dengan kambing kacang dan berkembang sebagai kambing penghasil susu, sehingga bentuk tubuh, sifat dan ciri-cirinya berada di antara kambing Etawa dan kambing kacang, yaitu: Bentuk kepala bagian hidung ke atas melengkung atau cembung, telinga panjang menggantung ke bawah, bulu yang indah dan warnanya beragam dari belang putih, merah coklat, bercak hitam atau kombinasi ketiganya, pada bagian belakang memiliki bulu yang panjang dan tebal.

BIBIT DAN REPRODUKSI
Kambing PE berbadan besar, berat badan betina kurang lebih 25 kg dan jantan kurang lebih 35 kg, tinggi gumba yang betina kurang lebih 60 cm dan yang jantan kurang lebih 70 cm. Jantan maupun betina memiliki tanduk pendek dan ramping. Kambing PE dapat menghasilkan anak antara 1–4 ekor per kelahiran atau rata-rata dua ekor. Waktu kawin kambing PE yang baik pada usia 15–18 bulan, karena pada waktu itu alat reproduksinya sudah berkembang sempurna.

Calon induk dan pejantan dipilih berdasarkan catatan produksi. Calon induk yaitu: bobot lahir antara 1,8 - 2 kg; berat sapih antara 6-8 kg; berat umur satu tahun (yearling) antara 20 - 25 kg; pertambahan berat badan harian antara 80 - 120 g/ekor/hari, jumlah anak sekelahiran (litter size) 1,5-1,8 ekor/induk; umur antara 8-12 bulan; mempunyai efisiensi reproduksi yang baik; tubuh tegap, sehat, lincah, dan tidak cacat; tidak pernah terserang penyakit; bentuk ambing simetris, sedikit menggantung, dan puting susu normal (tidak bercabang); bentuk punggung lurus; dan bulu mengkilap.

Calon pejantan yaitu: umur antara 1,5-3 tahun; penampilan bagus dan tegap; memiliki catatan atau informasi produksi maupun reproduksi yang superior, yaitu berasal dari induk yang jumlah anak (litter size) 1,5 - 1,8 ekor/induk, pertambahan berat badan harian (80-120 g/ekor/hari), bentuk scrotum simetris dan mempunyai panjang lingkar 28-30 cm dan tidak nampak bekas abses permanen pada kulitnya, libido tinggi, motilitas sperma 90% dan progresif.

Dewasa kelamin pada umur sekitar 10 bulan, kemudian dapat dikawinkan pada umur 10-12 bulan dengan berat badan sekitar 55 kg. Lama birahi sekitar 35 jam, siklus birahi berselang selama 3 minggu. Pada saat birahi merupakan saat yang tepat untuk dikawinkan, dengan tanda-tandanya yaitu: gelisah, nafsu makan dan minum menurun, ekor sering dikibaskan, sering kencing, kemaluan bengkak dan diam bila dinaiki. Masa bunting sekitar 5 bulan, serta masa melahirkan, penyapihan dan istirahat ± 2 bulan. Diusahakan agar kambing bisa beranak minimal 3 kali dalam dua tahun.

(Untuk informasi lebih lengkapnya silahkan berlangganan Tabloid SINAR TANI. SMS ke : 081584414991)
Sumber:
BETERNAK KAMBING PERANAKAN ETAWA PENGHASIL SUSU - Sinar Tani - Membangun Kemandirian Agribisnis

[+/-] Mau Baca Selengkapnya...

Thursday, August 27, 2009

Manajemen Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat - 'WahiD' WeB

Manajemen Sapi Perah Pada Peternakan Rakyat - 'WahiD' WeB






[+/-] Mau Baca Selengkapnya...

Dampak ekonomi kejadian brucellosis pada sapi perah di Indonesia

Dampak ekonomi kejadian brucellosis pada sapi perah di Indonesia
Saturday, 03 January 2009 12:33 Last Updated on Tuesday, 20 January 2009 15:39 Written by Wawan Nazaruddin. SKH
Oleh
Wawan Nazaruddin. SKH


PENDAHULUAN

Populasi sapi perah di Indonesia setiap tahun semakin meningkat, hal ini dipicu oleh kebijakan Uni Eropa dan beberapa negara penghasil susu yang mengurangi subsidi bagi usaha peternakan sapi perah, sehingga tidak ada insentif bagi peternak negara asing untuk mengembangkan usahanya. Kondisi ini menguntungkan bagi peternak sapi perah Indonesia karena akan terjadi peluang untuk meningkatkan posisi tawar kepada buyer susu dan industri pengolahan susu. Selain susu segar yang diperoleh peternak sapi perah, daging juga diperoleh dari penggemukan sapi perah jantan serta kotoran untuk pupuk kandang dan biogas. Hal inilah yang mendorong peternak sapi perah untuk tetap mempertahankan usahanya dalam bidang peternakan sapi perah.

Penyakit brucellosis merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi pada sapi perah dan merupakan penyakit yang penting karena dapat menimbulkan abortus dan tidak hanya itu penyakit brucellosis ini juga merupakan penyakit zoonosis yang dapat menular kemanusia dan menebabkan penyakit undulant. Kejadian brucellosis cenderung semakin meningkat baik dari segi jumlah (tingkat prevalensi / insidens reaktor) maupun dalam penyebarannya (distribusi). Hal ini tentu sangat mengancam pertumbuhan peternakan (sapi dan kerbau).
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui penyebab dan kerugian yang ditimbulkan oleh penyakit brucellosis.

TINJAUAN PUSTAKA

Kejadian penyakit brucellosis
Penyakit brucellosis merupakan penyakit ternak yang menjadi problem nasional baik untuk kesehatan masyarakat maupun persoalan ekonomi peternak. Di Indonesia kecenderungan meningkatnya populasi dan lebih seringnya mutasi sapi perah menjadi penyebab utama meningkatnya kasus brucellosis. Oleh sebab itu di Indonesia penyakit brucellosis dimasukkan dalam daftar penyakit menular yang harus dicegah dan diberantas sejak tahun 1959.
Di Indonesia, penyakit brucellosis dikenal pertama kali pada tahun 1935, ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur dan kuman Brucella Abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Penyakit brucellosis sudah bersifat endemis di Indonesia dan kadang-kadang muncul sebagai epidemi pada banyak peternakan sapi perah di Jakarta, Bandung, Jawa Tengah dan Jawa Timur (Putra, 2003)

Etiologi
Penyakit brucellosis, bangs disease atau penyakit abortus pada sapi disebabkan oleh Brucella Abortus (Gibbons, 1963). Secara morfologi, kuman Brucella. Spesies brucellosis yang lain diantaranya adalah Brucella suis dan Brucella meletensis juga dapat menyerang sapi, namun organisme tersebut biasanya hanya terbatas didalam system retikuloendotelial, serta tidak mengakibatkan gambaran penyakit yang jelas.

Klasifikasi
Kingdom :Bacteria
Filum :Proteobacteria
Class :Alphaproteobacteria
Ordo :Rhizobiales
Famili :Brucellaceae
Genus :Brucella
spesies :Brucella Abortus

Brucella Abortus bersifat Gram negatif, tidak berspora, berbentuk kokobasilus (short rods) dengan panjang 0,6 - 1,5 μm, tidak berkapsul, tidak berflagella sehingga tidak bergerak (non motil). Dalam media biakan, koloni kuman brucella berbentuk seperti setetes madu bulat, halus, permukaannya cembung dan licin, mengkilap serta tembus cahaya dengan diameter 1 - 2 mm. Pada pengecatan Gram, kuman terlihat sendiri-sendiri, berpasangan atau membentuk rantai pendek.
Secara biokimia, kuman Brucella dapat mereduksi nitrat, menghidrolisis urea, dan tidak membentuk sitrat tetapi membentuk H2S. Pertumbuhan bakteri memerlukan temperatur 20 - 40°C dengan penambahan karbondioksida (C02) 5 - 10% (Noor, 2006).
Kuman brucella bersifat fakultatif intraseluler yaitu kuman mampu hidup dan berkembang biak dalam set fagosit, memiliki 5-guanosin monofosfat yang berfungsi menghambat efek bakterisidal dalam neutrofil, sehingga kuman mampu hidup dan berkembang biak di dalam set neutrofil. Strain B. abortus yang halus (smooth) pada LPS-nya mengandung komponen rantai 0-perosamin, merupakan antigen paling dominan yang dapat terdeteksi pada hewan maupun manusia yang terinfeksi brucellosis . Uji serologis standar brucellosis adalah spesifik untuk mendeteksi rantai 0-perosamin tersebut.

Sensitifitas Bakteri
Bakteri brucella di luar tubuh induk semang dapat bertahan hidup pada berbagai kondisi lingkungan dalam waktu tertentu. Kemampuan daya tahan hidup bakteri brucella pada tanah kering adalah selama 4 hari di luar suhu kamar, pada tanah yang lembab dapat bertahan hidup selama 66 hari dan pada tanah yang becek bertahan hidup selama 151 - 185 hari. Menurut SUDIBYO (1995), kuman brucella dapat bertahan hidup selama 2 hari dalam kotoran atau limbah kandang bagian bawah dengan suhu yang relative tinggi. Pada air minum ternak, kuman dapat bertahan selama 5 - 114 hari dan pada air limbah selama 30 - 150 hari (Noor, 2006).

Cara penularan
Cara penularan penyakit brucellosis yang paling banyak adalah melalui air susu atau pakan yang tercemar oleh selaput janin atau cairan yang keluar dari rahim yang terinfeksi. Penularan bakteri brucellosis ini melalui jilatan dari sapi sapi tersebut, kemudian bakteri brucellosis dapat memasuki tubuh melalui selaput lender konjungtiva atau melalui gesekan kulit yang sehat. Untuk terjadinya infeksi melalui konjungtiva diperlukan kurang lebih 1,5 juta bakteri brucella.
Penularan dari pejantan yang terinfeksi brucellosis kepada induk betina dapat terjadi melalui kawin alami atau juga dapat melalui proses inseminasi buatan dilakukan lewat intra uterin dengan sperma yang mengandung brucellosis. Penularan penyakit brucellosis juga dapat terjadi melalui air susu induk yang diminum oleh pedet sapi, namun terjadinya infeksi melalui air susu tersebut sangat kecil sekali.
Penularan kepada manusia dapat terjadi melalui saluran pencernaan, misalnya minum air susu yang tidak dimasak yang berasal dari ternak penderita brucellosis. Penularan melalui selaput lendir atau kulit yang luka, misalnya kontak langsung dengan janin atau plasenta (ari-ari/bali) dari sapi penderita brucellosis dapat juga menyebabkan penularan brucellosis pada manusia.

Patogenesis
Permulaan infeksi brucellosis terjadi pada kelenjar limfe supramamaria. Pada uterus, lesi pertama terlihat pada jaringan ikat antara kelenjar uterus mengarah terjadinya endometritis ulseratif, kotiledon kemudian terinfeksi disertai terbentuknya eksudat pada lapisan allantokhorion. Brucella banyak terdapat pada vili khorion, karena terjadi penghancuran jaringan, seluruh vili akan rusak menyebabkan kematian fetus dan abortus. Jadi kematian fetus adalah gangguan fungsi plasenta disamping adanya endotoksin. Fetus biasanya tetap tinggal di uterus selama 24-72 jam setelah kematian. Selaput fetus menderita oedematous dengan lesi dan nekrosa. (Hardjopranjoto, 1995).
Pada hewan jantan, infeksi akan diikuti oleh orkhitis yang kronis dan perlekatan antara tunika vaginalis testis, sel mani abnormal dan fibriosis yang kronis dari jaringan interstitial. Terjadi pengumpulan makrofag dan limfosit pada jaringan testis. Ampula dan vas deferent, terjadi nekrosa jaringan ikatnya. (Hardjopranjoto, 1995).

Gejala klinis
Gejala klinis dari penyakit brucellosis ini adalah abortus atau dimasyarakat dan peternak dikenal dengan nama keluron. Keguguran biasanya terjadi pada umur kebuntingan 6 sampai 9 bulan kebuntingan, selaput fetus yang yang diaborsikan terlihat oedema, hemoragi, nekrotik dan adanya eksudat kental serta adanya retensi plasenta, metritis dan keluar kotoran dari vagina (Anonim, 2008). Penyakit brucellosis ini juga menyebabkan perubahan didalam ambing. Lebih dari separo dari sapi-sapi yang titer aglutinasinya tinggi menunjukkan presentasi yang tinggi didalam ambingnya.
Selain itu juga penyakit brucellosis ini menimbulkan lesi higromata terutama pada daerah sekitar lutut. Lesi ini terbentuk sebagai regangan sederhana atas bungkus sinovia pada persendian, yang berisi cairan yang jernih atau jonjot fibrin maupun nanah. Kemungkinan terjadinya higroma akibat adanya suatu trauma kemudian kuman kuman brucella yang berada didalam darah membentuk koloni didaerah persendian tersebut (Hardjopranjoto, 1995).
Pada pejantan penyakit brucellosis dapat menyerang pada testis dan mengakibatkan orkhitis dan epididimitis serta gangguan pada kelenjar vesikula seminalis dan ampula. Brucellosis juga menyebabkan abses serta nekrosis pada buah pelir dan kelenjar kelamin tambahan. Sehingga semen yang diambil dari pejantan mungkin mengandung bakteri brucella abortus.

Penanggulangan dan pencegahan brucellosis
Pencegahan brucellosis pada sapi didasarkan pada tindakan higiene dan sanitasi, vaksin anak sapi dengan Strain 19 dan pengujian serta penyingkiran sapi reaktor. Tindakan higienik sangat penting dalam program pencegahan brucellosis pada suatu kelompok ternak. Sapi yang tertular sebaiknya dijual atau dipisahkan dari kelompoknya, kemudian fetus dan placenta yang digugurkan harus dikubur atau dibakar dan tempat yang terkontaminasi harus didesinfeksi dengan 4% larutan kresol atau desinfektan sejenis.
Program vaksinasi dilakukan pada anak sapi umur 3-7 bulan dengan vaksin Brucella Strain 19. Tapi penggunaan Strain 19 harus hati-hati karena dapat menyebabkan brucellosis atau demam undulan pada manusia (Anonim, 2008).
Metode pengendalian lainnya ialah vaksinasi dengan 45/20 terhadap semua ternak, uji serologik secara teratur dengan SAT atau BRT dan CFT, monitoring dengan MRT dan isolasi atau penyingkiran reaktor (Anonim, 2008). Pada umumnya di Indonesia prinsip pengendalian brucellosis adalah metode test and slaughter (uji dan potong) merupakan cara terakhir dalam program pemberantasan.

Kerugian yang ditimbulkan dari penyakit brucellosis
Penyakit brucellosis dapat menyebabkan kerugian secara ekonomi pada peternak sapi perah dan merupakan penyakit ekonomi pada peternakan yang merisaukan bagi peternak. Hal ini disebabkan karena penyakit brucellosis dapat menulari semua betina yang telah dewasa kelamin dan menyebabkan abortus sampai mencapai 90% dari seluruh sapi betina dewasa tersebut. Sapi betina yang telah terinfeksi brucellosis dapat mengalami abortus 1-2 kali, kemudian akan terjadi kebuntingan normal kembali, namun kebanyakan sapi sapi perah yang terinfeksi tersebut sukar untuk bunting kembali dan mengalami kemajiran yang total, terutama pada sapi yang mengalami retensi sekundinae. Dan dalam beberapa tahun kemudian, gejala abortus menjadi umum dikawasan ternak tersebut disertai dengan angka konsepsi yang rendah, sapi-sapi dikawinkan berulang kali tidak terjadi kebuntingan. Hal ini menyebabkan biaya produksi perusahaan peternakan menjadi tinggi. (Hardjopranjoto, 1995).

KESIMPULAN

Penyakit yang menyebabkan keguguran pada sapi perah disebabkan oleh bakteri brucellosis. Penyakit brucellosis ini menyebabkan keguguran pada trimester terakhir masa kebuntingan.
Penyakit brucellosis menimbulkan kerugian secara ekonomi pada peternak karena selain menyebabkan abortus pada induk yang sedang bunting, penyakit ini juga dapat menyebabkan sapi yang terinfeksi mengalami kemajiran total. Selain itu juga sapi yang terinfeksi brucellosis, produksi susu turun akan turun drastis.


Tags: Brucellosis sapi perah penyebab brucellosis kerugian brucellosis

Sumber:
Dampak ekonomi kejadian brucellosis pada sapi perah di Indonesia

[+/-] Mau Baca Selengkapnya...

Manajemen Pengelolaan Sapi Perah | Website Dunia Veteriner

I. PENDAHULUAN

Pada awal bulan mei 2009 ini, harga susu sapi ditingkat koperasi mengalami penurunan harga. Namun demikian, optimisme beternak sapi perah sekiranya tetap kita galakkan demi terwujudnya masyarakat Indonesia yang cerdas karena peningkatan konsumsi susu. Sapi merupakan salah satu hewan ternak yang penting sebagai sumber protein hewani, selain kambing, domba dan ayam. Sapi menghasilkan sekitar 50% (45-55%) kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu dan 85% kebutuhan kulit (Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2005). Sapi berasal dari famili Bovidae, seperti halnya bison, banteng,

kerbau (Bubalus), kerbau Afrika (Syncherus), dan anoa.

Pemeliharaan sapi secara intensif mulai dilakukan sekitar 400 tahun SM. Sapi diperkirakan berasal dari Asia Tengah, kemudian menyebar ke Eropa, Afrika dan seluruh wilayah Asia. Menjelang akhir abad ke-19, sapi Ongole dari India dimasukkan ke pulau Sumba dan sejak saat itu pulau tersebut dijadikan tempat pembiakan sapi Ongole murni. Pada tahun 1957 telah dilakukan perbaikan mutu genetik sapi Madura dengan jalan menyilangkannya dengan sapi Red Deen. Persilangan lain yaitu antara sapi lokal (peranakan Ongole) dengan sapi perah Frisian Holstein di Grati guna diperoleh sapi perah jenis baru yang sesuai dengan iklim dan kondisi di Indonesia (Menteri Negara Riset dan Teknologi, 2005).

Secara garis besar, bangsa-bangsa sapi (Bos) yang terdapat di dunia ada dua, yaitu (1) kelompok yang berasal dari sapi Zebu (Bos indicus) atau jenis sapi yang berpunuk, yang berasal dan tersebar di daerah tropis serta (2) kelompok dari Bos primigenius, yang tersebar di daerah sub tropis atau lebih dikenal dengan Bos Taurus. Di Indonesia, manajemen pemeliharaan biasanya terbagi atas pemeliharaan sapi perah dan sapi potong.

Jenis sapi perah yang unggul dan paling banyak dipelihara adalah sapi Shorhorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda), Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis), Brown Swiss (dari Switzerland), Red Danish (dari Denmark) dan Droughtmaster (dari Australia). Hasil survei menunjukkan bahwa jenis sapi perah yang paling cocok dan menguntungkan untuk dibudidayakan di Indonesia adalah Frisien Holstein.

Pengembangan usaha peternakan sapi perah di Indonesia (on farm) beserta industri pengolahannya (off farm) mengalami kemajuan pesat pada tahun 1980 sampai dengan 1990 namun pada tahun 1990 sampai dengan 1999 produksi susu segar relatif tetap. Jumlah susu segar yang diproduksi pertahunnya mencapai kurang lebih 330.000 ton. Produksi tersebut terbagi atas 49% berasal dari Jawa Timur, 36% dari Jawa Barat dan sisanya 15% dari Jawa Tengah. (1999). Dari segi perkembangan populasi sapi perah pada tahun 1970 sekitar 3000 ekor menjadi 193.000 ekor pada tahun 1985, dan menjadi 369.000 ekor pada tahun 1991. Kenaikan ini terjadi karena adanya impor sapi perah asal Australia dan New Zealand ( Achjadi, 2001). Pada tahun 1999 industri persusuan nasional hanya memproduksi ± 20% terhadap total kebutuhan industri pengolahan, sehingga sisanya masih sangat bergantung kepada bahan baku impor.

Kondisi ini tidak bisa dibiarkan berlangsung lama tanpa adanya upaya perbaikan pengelolaan sapi perah. Untuk memperbaiki keadaan ini dibutuhkan usaha yang keras dari segala komponen yang terkait, mulai dari peternak sampai dengan pemerintah.

Sistem peternakan sapi perah yang ada di Indonesia masih merupakan jenis peternakan rakyat yang hanya berskala kecil dan masih merujuk pada sistem pemeliharaan yang konvensional. Banyak permasalahan yang timbul seperti permasalahan pakan, reproduksi dan kasus klinik. Agar permasalahan tersebut dapat ditangani dengan baik, diperlukan adanya perubahan pendekatan dari pengobatan menjadi bentuk pencegahan dan dari pelayanan individu menjadi bentuk pelayanan kelompok. Keberhasilan usaha peternakan sapi perah sangat tergantung dari keterpaduan langkah terutama di bidang pembibitan (Breeding), pakan, (feeding), dan tata laksana (management). Ketiga bidang tersebut kelihatannya belum dapat dilaksanakan dengan baik. Hal ini disebabkan kurangnya pengetahuan dan ketrampilan peternak serta masih melekatnya budaya pola berfikir jangka pendek tanpa memperhatikan kelangsungan usaha sapi perah jangka panjang. Oleh karena itu, dibutuhkan peningkatan pengetahuan dan pemahaman peternak tentang manajemen sapi perah yang baik sehingga akan berdampak pada peningkatan produksi dan ekonomi.

II. MANAJEMEN PEMELIHARAAN

Untuk mendapatkan hasil yang optimal, pola pemeliharaan sapi potong harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Penyiapan sarana dan peralatan tertutama perkandangan
2. Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibit
3. Kesehatan dan sanitasi
4. Manajemen pemberian makan
5. administrasi serta perhitungan ekonomi

II.1. Penyiapan Sarana dan Peralatan
Kandang dapat dibuat dalam bentuk ganda atau tunggal, tergantung dari jumlah sapi yang dimiliki. Pada kandang tipe tunggal, penempatan sapi dilakukan pada satu baris atau satu jajaran, sementara kandang yang bertipe ganda penempatannya dilakukan pada dua jajaran yang saling berhadapan atau saling bertolak belakang. Diantara kedua jajaran tersebut biasanya dibuat jalur untuk jalan.

Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjaga agar ternak nyaman sehingga dapat mencapai produksi yang optimal, yaitu :

- Persyaratan secara umum :
a. Ada sumber air atau sumur
b. Ada gudang makanan atau rumput atau hijauan
c. Jauh dari daerah hunian masyarakat
d. Terdapat lahan untuk bangunan dengan luas yang memadai dan berventilasi

- Persyaratan secara khusus :
a. Ukuran kandang yang dibuat untuk seekor sapi jantan dewasa adalah 1,5 x 2 m atau 2,5 x 2 m, sedangkan untuk sapi betina dewasa adalah 1,8 x 2 m dan untuk anak sapi cukup 1,5 x 1 m per ekor, dengan tinggi atas ± 2-2,5 m dari tanah.
b. Ukuran bak pakan : panjang x lebar = bersih 60 x 50 cm
c. Ukuran bak minum : panjang x lebar = bersih 40 x 50 cm
d. Tinggi bak pakan dan minum bagian dalam 40 cm (tidak melebihi tinggi persendian siku sapi) dan bagian luar 80 cm
e. Tinggi penghalang kepala sapi 100 cm dari lantai kandang
f. Lantai jangan terlalu licin dan terlalu kasar serta dibuat miring (bedakan ± 3 cm). Lantai kandang harus diusahakan tetap bersih guna mencegah timbulnya berbagai penyakit. Lantai terbuat dari tanah padat atau semen, dan mudah dibersihkan dari kotoran sapi. Lantai tanah dialasi dengan jerami kering sebagai alas kandang yang hangat.
g. Selokan bagian dalam kandang untuk pembuangan kotoran, air kencing dan air bekas mandi sapi : Lebar (L) x Dalam selokan (D) = 35 x 15 cm
h. Selokan bagian luar kandang untuk pembuangan bekas air cucian bak pakan dan minum : L x D = 10 x 15 cm
i. Tinggi tiang kandang sekurang-kurangnya 200 cm dari lantai kandang
j. Atap kandang dibuat dari genteng
k. Letak kandang diusahakan lebih rendah dari sumber air dan lebih tinggi dari lokasi tanaman rumput. (Hasanudin, 1988). Lokasi pemeliharaan dapat dilakukan pada dataran rendah (100-500 m) hingga dataran tinggi (> 500 m). Temperatur di sekitar kandang 25-40 derajat C (rata-rata 33 derajat C) dan
kelembaban 75%.
Seluruh bagian kandang dan peralatan yang pernah dipakai harus disuci hamakan terlebih dahulu dengan desinfektan, seperti creolin, lysol, dan bahan-bahan lainnya.

II.2 Pembibitan dan pemeliharaan bakalan/bibit
Sapi perah yang cocok dipelihara di Indonesia adalah sapi Shorthorn (dari Inggris), Friesian Holstein (dari Belanda) dan Yersey (dari selat Channel antara Inggris dan Perancis). Agar dapat memperoleh bibit sapi perah yang baik diperlukan adanya seleksi baik berdasarkan silsilah, bentuk luar atau antomis maupun berdasarkan jumlah produksi. Ciri-ciri sapi perah betina yang baik:

1. Kepala panjang , sempit, halus, sedikit kurus dan tidak banyak berotot
2. Leher panjang dan lebarnya sedang, besarnya gelambir sedadang dan lipatan-lipatan kulit leher halus
3. Pinggang pendek dan lebar
4. Gumba, punggung dan pinggang merupakan garis lurus yang panjang
5. Kaki kuat, tidak pincang dan jarak antara paha lebar
6. Badan berbentuk segitiga, tidak terlalu gemuk dan tulang-tulang agak menonjol (BCS umumnya 2)
7. Dada lebar dan tulang -tulang rusuk panjang serta luas
8. Ambing besar, luas, memanjang kedepan kearah perut dan melebar sampai diantara paha. Kondisi ambing lunak, elastis dan diantara keempat kuartir terdapat jeda yang cukup lebar. Dan saat sehabis diperah ambing akan terlimpat dan kempis, sedangkam sebelum diperah gembung dan besar.
9. Produksi susu tinggi,
10. Umur 3,5-4,5 tahun dan sudah pernah beranak,
11. Berasal dari induk dan pejantan yang mempunyai keturunan produksi susu tinggi,
12. Tubuh sehat dan bukan sebagai pembawa penyakit menular, dan
13. Tiap tahun beranak.

II. 3 Kesehatan
Gangguan dan penyakit dapat mengenai ternak sehingga untuk membatasi kerugian ekonomi diperlukan control untuk menjaga kesehatan sapi menjadi sangat penting. Manjememen kesehatan yang baik sangat mempengaruhi kesehatan sapi perah. Gangguan kesehatan pada sapi perah terutama berupa gangguan klinis dan reproduksi. Gangguan reproduksi dapat berupa hipofungsi, retensi plasenta,kawin berulang, endometritis dan mastitis baik kilnis dan subklinis. Sedangkan gangguan klinis yang sering terjadi adalah gangguan metabolisme (ketosis, bloot, milk fever dan hipocalcemia), panaritium, enteritis, displasia abomasum dan pneumonia. Adanya gangguan penyakit pada sapi perah yang disertai dengan penurunan produksi dapat menyebabkan sapi dikeluarkan dari kandang atau culling. Culling pada suatu peternakan tidak boleh lebih dari 25, 3%.

Salah satu parameter yang dapat digunakan untuk pemeliharaan sapi dengan melihat body condition scoring, nilai BCS yang ideal adalah 3,5 (skala 1-5). Jika BCS lebih dari 4 dapat menyebabkan gangguan setelah melahirkan seperti mastitis, retensi plasenta, distokia, ketosis dan panaritium. Sedangkan kondisi tubuh yang kurus menyebabkan produksi susumenurun dengan kadar lemak yang rendah. Selain itu faktor-faktor yang perlu diperhatikan didalam kesehatan sapi perah adalah lingkungan yang baik, pemerahan yang rutin dan peralatan pemerahan yang baik

II. 4 Manajemen pemberian makan
Pakan sapi terdiri dari hijauan sebanyak 60% (Hijauan yang berupa jerami padi, pucuk daun tebu, lamtoro, rumput gajah, rumput benggala atau rumput raja, daun jagung, daun ubi dan daun kacang-kacangan) dan konsentrat (40%). Umumnya pakan diberikan dua kali perhari pada pagi dan sore hari. Konsentrat diberikan sebelum pemerahan sedangkan rumput diberikan setelah pemerahan. . Hijauan diberikan siang hari setelah pemerahan sebanyak 30-50 kg/ekor/hari.

Pemberian pakan pada sapi perah dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu system penggembalaan, system perkandangan atau intensif dan system kombinasi keduanya. Pemberian jumlah pakan berdasarkan periode sapi seperti anak sapi sampai sapi dara, periode bunting, periode kering kandang dan laktasi. Pada anak sapi pemberian konsentrat lebih tinggi daripada rumput. Pakan berupa rumput bagi sapi dewasa umumnya diberikan sebanyak 10% dari bobot badan (BB) dan pakan tambahan sebanyak 1-2% dari BB. Sapi yang sedang menyusui (laktasi) memerlukan makanan tambahan sebesar 25% hijauan dan konsentrat dalam ransumnya. Hijauan yang berupa rumput segar sebaiknya ditambah dengan jenis kacang-kacangan (legum).

Sumber karbohidrat berupa dedak halus atau bekatul, ampas tahu, gaplek, dan bungkil kelapa serta mineral (sebagai penguat) yang berupa garam dapur, kapur, dll. Pemberian pakan konsentrat sebaiknya diberikan pada pagi hari dan sore hari sebelum sapi diperah sebanyak 1-2 kg/ekor/hari. Selain makanan, sapi harus diberi air minum sebanyak 10% dari berat badan perhari.Pemeliharaan utama adalah pemberian pakan yang cukup dan berkualitas, serta menjaga kebersihan kandang dan kesehatan ternak yang dipelihara. Pemberian pakan secara intensif dikombinasikan dengan penggembalaan Di awal musim kemarau, setiap hari sapi digembalakan. Di musim hujan sapi dikandangkan dan pakan diberikan menurut jatah. Penggembalaan bertujuan pula untuk memberi kesempatan bergerak pada sapi guna memperkuat kakinya.

II. 5 Administrasi serta perhitungan ekonomi
Usaha ternak sapi perah di Indonesia masih konvensional dan belum mencapai usaha yang berorientasi ekonomi. Rendahnya tingkat produktivitas ternak tersebut lebih disebabkan oleh kurangnya modal, serta pengetahuan/ketrampilan petani yang mencakup aspek reproduksi, pemberian pakan, pengelolaan hasil pascapanen, penerapan sistem recording, pemerahan, sanitasi dan pencegahan penyakit. Sistem recording meliputi tanggal kelahiran, pencatatan asal usul sapi (pedigree), pencatatan reproduksi sapi seperti sapi kapan terakhir dikawinkan, terakhir melahirkan dan sapi yang terlambat kawin Selain itu pengetahuan petani mengenai aspek tata niaga harus ditingkatkan sehingga keuntungan yang diperoleh sebanding dengan pemeliharaannya.

KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam upaya pelaksanaan program manajemen kesehatan sapi perah dari segi kesehatan kelompok memerlukan perhatian, seperti kualitas sumber daya manusia yang baik dan peningkatan program pelayanan kepada peternak.

sumber: dari berbagai sumber dan atas kebaikan drh.M. Wahiduddin


Sumber:
Manajemen Pengelolaan Sapi Perah | Website Dunia Veteriner

[+/-] Mau Baca Selengkapnya...

Dikelola dan dikembangkan dari beberapa sumber. Powered by Blogger.